Pendidikan adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia
tidak akan bisa berkreasi dan menghasilkan sesuatu tanpa ada dasar
pendidikan. Pendidikan tidak hanya bersifat formal, namun juga bisa
bersifat informal. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah banyaknya
kerancuan yang terjadi di dalam sistem pendidikan negara kita.
Indonesia adalah negara dengan kualitas pendidikan yang masih jauh dari
standar dunia, bahkan kalah oleh negara tetangga seperti Malaysia dan
Vietnam. Padahal, saat awal kemerdekaan, Indonesia banyak mengirimkan
guru untuk Malaysia. Ironisnya, justru kualitas pendidikan di Indonesia
semakin hari terasa semakin menurun. Perubahan kurikulum yang menjadi
rutinitas dan program kerja pemerintah seakan membuktikan jika
pemerintah tidak memiliki visi untuk memajukan pendidikan di negeri ini.
Mayoritas negara di dunia, khususnya Indonesia masih menerapkan satu
pola pikir yang seharusnya di zaman modern ini tidak lagi digunakan,
yaitu “nilai adalah prestasi”. Nilai, indeks prestasi yang berupa angka
ini masih menjadi standar untuk mengukur kualitas pelajar. Jika nilai
pelajar tersebut bagus, otomatis dikatakan pintar. Namun sebaliknya,
jika nilai pelajar tersebut buruk, akan dikatakan bodoh.
Sejatinya, manusia di dunia ini diciptakan berbeda-beda dan memiliki
jenis kecerdasan yang berbeda pula. Manusia di dunia ini tidak ada yang
bodoh atau pintar. Namun, yang membedakan seolah seseorang pintar atau
bodoh adalah media. Media di sini bukan berarti seperti koran atau TV,
tetapi tempat untuk menyalurkan kemampuan. Berbagai jenis kecerdasan di
sini tidak semua mampu ditampung.
Inilah yang terjadi
di negara kita. Jika kita perhatikan, sekolah-sekolah mulai dari SD
hingga SMA hanya berisi teori dan eksak. Lebih mirisnya, bahkan anak TK
zaman sekarang sudah harus dituntut untuk meraih nilai bagus. Ini sama
saja dengan menjajah kehidupan masa kecil mereka. Apakah untuk menjadi
anak pintar di masa depan harus dijajah dahulu masa kecilnya?
Sistem pendidikan yang hanya menyuguhkan teori dan eksak tidak
menampung bakat-bakat yang dimiliki oleh masing-masing pelajar. Para
pelajar yang memang memiliki kecerdasan aritmatik akan pasti mudah
menghadapi materi eksak. Bagaimana dengan yang memiliki kecerdasan
musik? Ekstrakulikuler pasti menjadi jawabannya. Ya, tapi bagaimana
dengan kelanjutan selanjutnya? Apakah lantas dia bisa berjalan sesuai
bakat dan keinginannya? Saya rasa tidak. Mereka pasti akan terpaku untuk
mengikuti sistem, atau mengikuti keinginan orang tuanya, semisal untuk
menjadi dokter.
Akhirnya yang akan terjadi adalah
keinginan para pelajar untuk bisa meraih nilai setinggi mungkin untuk
mencapai keinginan semunya dengan berbagai cara. Jalan keluar yang
diputuskan adalah menyontek atau jika memiliki uang lebih bisa melakukan
cuci rapot. Mirisnya, hal seperti ini lumrah terjadi di dunia
pendidikan Indonesia, di tempat yang seharusnya mendidik dan mengajari
pelajar untuk berbuat baik.
Sadarkah hal seperti di
atas adalah perbuatan cikal bakal untuk menjadi koruptor? Memanipulasi
nilai, melakukan grativikasi, dan ingin meraih segalanya dengan berbagai
cara adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh para koruptor serta
antek-anteknya. Jika pada tempat pendidikan sendiri mengajarkan dan
melakukan hal yang curang atau tidak etis, bukankah sia-sia pemerintah
ingin memberantas korupsi?
Sistem pendidikan kita
telah membentuk pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa nilai sangat
penting untuk prestasi ke depan yang akhirnya masyarakat akan mencari
segala cara untuk bisa mendapatkan nilai tersebut. Beberapa orang tua
yang telah berpikir jauh ke depan akan memahami bakat dan kemampuan yang
dimiliki oleh sang anak. Namun berbeda dengan orang tua yang masih
menganut sistem lama yang menganggap nilai dan ijazah akan menentukan
kesuksesan seseorang.
Kalau kita melihat sistem
pendidikan ala negara Barat, anak-anak akan dilihat potensi yang
dimilikinya oleh para guru di sana. Mereka lebih mementingkan seberapa
besar kemampuan anak yang dimiliki daripada berapa besar nilai yang
diraih anak tersebut di dalam mata pelajaran. Makanya, negara-negara
barat terutama Eropa banyak menghasilkan bibit unggul sesuai dengan
kemampuan masing-masing, dan menghasilkan lulusan yang sudah
terspesialisasi.
Di Indonesia, kita bisa menerapkan
sistem pendidikan ala barat. Namun bukan berarti kita
“membarat-baratkan” lembaga pendidikan seperti pernahnya diterapkan
sistem RSBI. Penerapan yang dimaksud adalah dengan mencari dan menggali
potensi para pelajar Indonesia serta mengembangkannya agar siap menjadi
lulusan yang berkualitas. Sistem pendidikan yang baik adalah yang bisa
mengayomi setiap kecerdasan masing-masing orang agar bisa berkembang dan
diterapkan di dalam kehidupan. Seperti contoh, ketika ada seorang
pelajar yang memiliki kecerdasan lebih dalam hal seni, lembaga
pendidikan, dalam hal ini sekolah, harus bisa membimbing pelajar
tersebut agar bakatnya bisa tersalurkan dan menjadi seseorang yang
sukses karena bakatnya tersebut.
Lembaga pendidikan
tidak bisa egois dan tidak bisa berambisi untuk meningkatkan mutu
pendidikannya hanya melalui sebuah nilai. Ambisi semu tersebut hanya
melahirkan generasi “pencari nilai” yang menggunakan segala cara agar
keinginannya tercapai. Sekolah yang bagus adalah sekolah yang banyak
melahirkan dan menciptakan lulusan yang berpotensi dalam bakatnya.
Inilah yang harus diperbaiki dan dijadikan bahan evaluasi untuk sistem
pendidikan Indonesia ke depannya.
Tidak hanya dari
lembaga pendidikan, peran orang tua pun penting dalam menciptakan sebua
sistem pedidikan yang ideal. Orang tua yang memahami anak adalah orang
tua yang bisa mendukung kemampuan anaknya dan tidak berambisi menjadikan
anaknya seperti apa yang diinginkannya. Biarkan anak berkreasi dan
mengeksplor kemampuannya, dan sebagai orang tua harus mendukungnya.
Dengan adanya dukungan dari kedua belah pihak, yakni lembaga pendidikan
dan orang tua, akan tercipta sebuah sistem pendidikan yang baik, ideal,
dan menciptakan generasi penerus yang unggul dan terspesialisasi.
Referensi : http://writing-contest.bisnis.com oleh Pradanaputra,Fauzi
0 komentar:
Posting Komentar